Selasa, 01 Mei 2012

Artikel "Penambal Hati" ( Oleh : Hajir Muis)

Foto by Haji
   Sore sudah berlalu pada saat itu, jam 9 malam tepatnya.  Yah! Waktunya pulang? menu penutup rutinatas dalam daftar harian kebanyakan orang,  waktu yang  umum
digunakan untuk mengistirahatkan tubuh (tidur, berkumpul dengan keluarga, atau sekedar menonton tv ) setelah beraktivitas seharian penuh yang membuat tubuh menjadi lelah.

            Bagi sebagian orang aktivitas yang normal di mulai pagi hari hingga sore harinya. Lain halnya dengan bapak dari 3 orang anak itu, ia belum juga pulang kerumahnya, ia masih akan melanjutkan aktifitasnya beberapa jam lagi, tepatnya hingga jam 4 pagi. Dia masih saja menunggu dilapak kecilnya, siap-siaga menunggu untuk memberikan jasanya pada mereka yang menjadi korban ganasnya aspal di kota yang panas ini. Dia bukan dokter, bukan pula perawat, dia adalah seorang penambal ban yang sangat sering di temui di kota ini.

            Apanya yang menarik? Tidak ada yang menarik dari pekerjaan itu. Selain bahwa mereka sangat membantu jika kita menjadi salah satu korban (ban bocor), dengan biaya murah dibanding harus mengganti ban dalam, jika memang masih bisa di selamatkan (ditambal) akan meperkecil pengeluaran.  Yah! Sangat biasa untuk melihatnya berada di pinggiran jalan besar di kota. Namun pertemuan dengan Daeng Arifin sungguh mengesankan, jalan beserta ban bocor telah menuntun menuju pertemuan dengan beliau. 

Bukan pertama kalinya Daeng menjadi hero di saat yang genting, namun kali pertama itu dengan mata biasa, hanya melihanya biasa-biasa saja. Tapi yakin bahwa tidak ada kebetulan dimuka bumi ini, hikma selalu bertebaran untuk ditemuka di muka bumi, mungkin saja karena asik dengan dunia sosial maya sehingga hal yang sangat dekat dengan kehidupan, yang terkenali hanya kulit luarnya saja. Hingga pada saat itu hanya ada transaksi belaka. Kali ini berbeda! Dengan sedikit memberanikan diri, berpura-pura menjadi orang yang sosial karena misi tugas. Maka mulai lah observasi kecil-kecilan!   

             Hanya sebentar perbicangan itu berlangsung, sembari tangan daeng mengerjakan ban bocor, ia pun sibuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya menggagunya. Tapi bukannya marah atau mengeluh, beliau malah tersenyum sambil menjawab dengan nada rendah semua tanya yang sebenarnya pun tidak ada untung baginya menjawab. Hidup dengan simbiosis mutualisme kata orang-orang untuk menglegitimasi hubungan mekanik, sepertnya masih jauh dari sikapnya. Ia masih cukup tradisional dalam membangun hubungnnya dengan pelanggannya, dengan senyum, dan komunikasi yang baik, dan itu yang membuatnya menarik. 

Beliau sudah berkeluarga, umurnya pun sudah berkepala empat (4), ia memiliki tiga orang anak. Anak pertamnya sudah menginjak bangku SMK kelas 2 yang kata daeng sebentar lagi ia akan naik kelas tiga, anak keduanya juga sudah SMA kelas 1, dan anak terakhirnya masih SD. Ia adalah tulang punggung keluarga, ia satu-satunya yang produktif  dalam keluarga itu. Walupun setiap harinya anak pertamanya datang untuk membantu daeng sehabis sekolah, namun sebenarnya daeng pun ingin jika anaknya tidak perlu mengurusi usaha bapaknya, kerena ialah bapak yang seharusnya memikul tanggung jawab itu dalam kelurganya. 

Dengan pendapatan 8000/tambal, yang pendapatan perharinya pun tak jelas berapa ban yang akan bocor lalu menambal, pun daeng tak pernah berdoa bahkan menset agar ban motor orang-orang bisa bocor dan ditambal di tempatnya (seperti mitos-mitos yang tersebar tentang penambal di pinggir jalan yang menyebar ranjau). Yah! Mungkin hanya sedikit pengharapan “semoga jika ada yang mendapat musibah ban bocor, biarlah jasa yang saya sediakan dapat membantunya”. Rp.8000 untuk sekalin tamabal adala biaya yang ia dapatkan dari jasanya, jika pun banyak yang menggunakan jasanya itu yakin tidak lebih dari 8 pelanggan, jika begitu daeng bisa mendapatkan Rp. 64.000/hari, atau dalam sebulan Rp. 1,9juta dengan syarat 30 hari kerja. Jika seperti itu mungki kebutuhan dapurnya bisa ia tutupi, dan dengan pendapatnnya seperti itu di negara ini, mereka tidak lagi di golongkan sebagai orang miskin. Namun ternyata kondisi menyenangkan seperti itu sangat jarang terjadi padanya , bahkan sering kali dalam seharinya ia harus pulang dengan “sama” ketika ia meninggalkan rumah “pulang dengan tangan kosong”.

Padahal biaya hidup di kota semakin besar di bandingkan dengan mahasiswa atau anak-anak dari kalangan menengah saja biaya hidup sebulannya sekita Rp.600 s/d Rp. 1juta. Sedangkan mereka adalah keluarga, banyak yang harus mereka penuhi makan, air, listrik, sekolah, namun kelihatnnya bukan sesuatu yang bisa membuat hidup mereka berhenti, maka mereka tidak berputus asa. Hampir tidak ada keluhan dalam perkataanya. Anaknya yang masih SD tidak masalah katanya karena sekolahnya masih gratis, dua anaknya yang SMK yang sedikit terkendala dengan biaya sekolahnya, tapi tetap saja bukan sebuah masalah karena solusi selalu hadir dalam ketidak takutan. Hidup untuk hidup, ketakutan akan menjadi masalah yang terlalu awal.

Hampir selesai daeng menyelesaikan ban motor yang sedari tadi ia sedang tambal, sesuai dengan yang di ceritakannya, Anak keduanya datang untuk membantu daeng Arifin, Andi’ pangilan akrab daeng Arifin kepada anaknya. Sangat ramah anak itu, remaja yang baru menduduki bangku pendidikan awal SMK menyapah bapaknya lalu menggantikannya untuk mengerjakan apa yang dikerjakan daeng, remaja yang yang sangat  hangat, aura kekeluargaan yang terpancar dari hubungan antara bapak dan anak itu, hubungan yang sangat tradisional. Yah! Rindu melihat kondisi seperti itu, keadaan yang sudah sangat jarang ditemukan pada remaja-remaja sebayanya dimasa-masa sekarang ini.

Daeng sekali lagi membuat terkesan, pandangannya tentang hidup yang luar biasa, dan sekarang ia memperlihatkan lagi ke mampuannya sebagai seorang pendidik yang baik, pengajar paling awal bagi anak yang terlahir dalam sebuah keluarga, yang ter-representasikan oleh anak-anaknya. Entah ini hanya imaji! Namun yakinkan bahwa hasil pendidikan, moral, etik, yang di ajarkan daeng kepada Andi’nya tertanam dengan baik. Bukan dengan uang tentunya, bukan pula dengan makanan lezat, fasilitas mewah, sekolah yang mahal, les privat, perlengkapan IT yang canggih atau lingkungan elite, bukan! Dia bukan seorang akademisi, bukan seorang politikus, dan bukan seorang pengusaha yang berduit. Daeng hanyalah seorang penambal ban, di malam hari, dimana kebanyakan orang mulai beristirahat, dimana istri dan dua anak gadisnya pun mulai beristirah. Hanya andi’ yang menemaninya bekerja! Menamabal ban! Hanya menambal ban yang di kerjakannya untuk mencari nafka, yang tertegaskan dengan kalimat yang lembut ia ucapkan “yah mau di apa nak! Menambal ban ji saya bisa kerja ”. jelas bukan dengan materi daeng mendidik anaknya. Daeng mendidiknya dengan sangat tradisional, dengan sapaan dan senyuman di pagi, siang, dan malam hari , dengan komunikasi tatap muka yang intens, dan dengan menjadi contoh bagaimana menjadi seorang bersabar dan berusaha bagi anak-anaknya, dan mungikn dengan ketegasan yang menjadi budaya tempat tinggalnya. Maka runtulah mitos-mitos yang menghukumi terlalu dini, mitos yang mengatak bahwa pendidikan harus mahal, hidup harus mewah, bahwa materilah yang akan mempengaruhi kualitas hidup. Daeng dengan gerak dalam hidupnya, sederhanya, keramahannya, yang terpancar pula pada anaknya. Yah! Keluarga sebagai tempat awal transformasi nilai, daeng arifin telah menambal semua kekurangan materialnya, bukan dengan deposito yang berlimpah yang dia pun tak perna memimpiknya, daeng arifin menambal segalanya dengan ikhlas, cinta, dan kasih sayangnya.

Terima kasih telah menginspirasi di tengah kelupaan...

Terima kasih..

Terima kasih telah menambal hati yang rindu...

PS: Semoga Tuhan selalu melimpahkan kasih-sayangNya, rasa syukur, dan hati yang tabah pada meraka sekeluarga. Semoga Tuhan mencukupi segala kekurangan yang mereka miliki. Amin..

0 komentar:

Posting Komentar